Mari Membaca

Kunci Kesuksesan Sempurna

 Pada hari Sabtu sore aku berkunjung ke rumah Romo. Aku berangkat dari rumah pukul setengah dua siang. Aku ke sana naik sepeda motor matic hitam kesayanganku. Aku sampai di rumah Romo pukul dua kurang sepuluh menit. Rumah Romo adalah rumah yang sejuk nan asri. Rumah dengan pendopo yang luas, belakang berupa area bukit yang tinggi melandai, tidak terlalu curam, depan berupa sungai yang tidak terlalu deras alirannya, dan kan kirinya berupa kebun apukat. Aku datang ke rumah Romo dnegan tujuan sowan dan bertanya mengenai hal-hal yang ingin kuketahui. Bagiku, Romo bagaikan Socratesnya Indonesia. Dia tidak menggurui tapi membuka ruang diskusi, sehingga kami mencapai kesimpulan dari pemikiran diri kami sendiri. Sesampainya di rumah Romo aku disambut dengan hangat. Romo mempersilahkanku untuk segera duduk di kursi yang disediakan. Tidak berselang lama istri Romo, Bu Siti, datang membawakan dua cangkir kopi yang harum aromanya.

“Monggo, Nak, diminum” Romo segera mempersilahkan kepadaku.

“Inggih, Romo” Ucapku sungkan.

“Apa tujuan Nak Edy ke sini?” Tanya Romo.

Begini, Romo, izinkan saya bertanya, bagaimana cara untuk sukses yang benar?”Jawabku sembari mengajukan pertanyaan pembuka.

“Apa yang dimaksud sukses, itu? Jawab dengan rinci, ya” Tanya Romo balik.

Degg! Aku tertegun dengan ucapan Romo. Selama ini memang sukses bagiku adalah sesuatu yang abstrak. Tidak kuketahui arti sebenarnya. Yang ku tahu sukses adalah seperti dialami orang-orang yang kuanggap sukses. Misalnya orang terkaya di dunia, raja, pengusaha sukses. Untuk sukses sendiri, sebagai gambaran kondisi yang enak-enak saja, tidak ada susah.

“Menurut saya, Romo, sukses itu bila punya mobil, rumah besar, hotel, perusahaan, emas, berlian, permata, dan lain-lain. Lalu,kita tidak perlu bekerja, uang datang sendiri, tinggal duduk-duduk mengawasi orang-orang yang bekerja untuk kita. Kita memiliki pemasukan pasif yang lumayan untuk menopang kehidupan kita”  Jawabku.

“Jika menurutmu begitu, kamu tahu tidak siapa saja orang-orang sukses itu” Tanya Romo lagi.

“Menurut buku yang saya baca, sedikit Romo. Hanya 1% populasi yang kaya rasa, sisanya yang 99% di bawahnya itu” Jawabku.

“Berarti yang 99% itu belum sukses?” Tanya Romo memancing pendapatku.

Suasana menjadi hening sejenak. Aku termenung memikirkan pertanyaan Romo. Benarkah 99% orang belum sukses, benarkah 1% orang itu sudah sukses? Jika banyak orang yang belum sukses, mengapa sebanyak itu? Apakah semester tidak adil sehingga membuat hanya 1% saja orang yang sukses?

Kemudian, Romo melanjutkan pembicaraannya, “Seringkali kita terjebak pada ilusi panca indra. Dunia yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dikecap oleh lidah, dihirup oleh hidung, dan dirasakan oleh kulit dijadikan patokan standart. Terkadang kesuksesan seseorang diukur dari yang dilihat dan dipunyai. Hal ini karena orang lebih suka memiliki, daripada menjadi. Memiliki berarti memiliki kemelekatan dengan suatu benda atau hal lainnya, menjadi berarti realisasi diri dalam perannya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan. Jika kesuksesan hanya diukur dari yang dimiliki dan dapat dilihat diraba atau dirasakan, maka tentunya yang dimaksud sukses itu sangat sempit. Mobil, motor, rumah jika dijadikan symbol kesuksesan, maka jika orang telah memiliki hal-hal tersebut, apakah dia akan merasa sudah sukses? Jawabnya belum. Bisa dipastikan orang tersebut akan berada dalam kebanggaan semu belaka, tidak akan mencapai kepuasan. Setelah mendapatkan, maka dia akan berusaha mencari yang lebih banyak lagi, dan lagi, sehingga begitu seterusnya. Orang seperti adalah orang yang gagal menerjemahkan arti kebahagiaan. Dalam pemahamannya kebahagiaan dipengaruhi sepenuhnya oleh factor luar sajanya, maka dia akan kecewa. Sukses di luar, namun hampa di dalam. 

“Tapi, Romo, bukankah sukses itu penting? Bukankah kita harus sukses?” Tanyaku penasaran.

“Jika yang kamu maksud sukses bersifat kebendaan, seperti mobil, motor, rumah dan sebagainya, maka kamu ibarat minum air laut, kamu bisa saja minum air laut yang asin, tapi tidak akan pernah cukup untuk menghilangkan hausmu, sebanyak apapun kamu minum. Demikian juga, jika sukses didasari dengan keinginan mendapatkan kebendaan, bisa saja kamu mendapatkan mobil, motor, dan rumah, namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keinginanmu. Berbeda hal nya dengan bila sukses didasari kebahagiaan, maka mobil, motor, rumah dan sebagainya akan menyusul dengan sendirinya. Karena benda-benda seperti itu, senang mendekat kepada orang-orang yang bahagia” Romo menjelaskan.

“Apa hubungannya kebahagiaan dengan kesuksesan, Romo? Coba jelaskan pada saya yang belum paham ini?” Tanyaku lagi.

“Orang bahagia akan memperlakukan sekitarnya sebagaimana dia ingin diperlakukan. Orang bahagia tidak akan menghakimi atau menyalahkan sesamanya. Maka, tindakannya kepada sesamanya bagaikan kasih saying seorang ibu kepada anak-anaknya. Kamu tahukan, jika seorang ibu menuntun anaknya, maka anaknya tersebut akan tumbuh dewasa. Dan ibunya pun tetap bahagia. Sama halnya, bila orang bahagia bekerja, dia akan bekerja dengan sungguh-sungguh memaksimalkan kemampuannya. Akhirnya, hasil karya kerjanya bagus. Oleh karena itu materi akan mengikuti. Dia akan mendapatkan apa yang dia butuhkan secara otomatis.” Romo menjelaskan kembali.

“Tapi, Romo, ada orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi tidak mendapatkan haknya? Bagaimana penjelasan ini, Romo?” Tanyaku lagi.

“Orang bekerja harus ada keseimbangan, antara hak dan kewajiban. Kalau orang sudah melakukan kewajiban, maka dia harus menerima haknya. Bekerja berbeda dengan berkarya. Bisa jadi dia bekerja terjebak dalam rutinitas, sehingga lupa untuk berkarya. Hak adalah sesuatu yang diterima karena dia bekerja. Namun, yang menyebabkan dia dinilai mahal adalah karyanya yang luar biasa, sehingga dia mendapat yang lebih banyak” Jawab Romo.

“Baik, saya paham Romo. Jadi, selain bekerja, kita juga harus berkarya, untuk mendapatkan nilai lebih tinggi, sehingga hasilnya lebih banyak. Kemudian, izin bertanya lagi, bagaimana cara berkarya yang baik?” Aku bertanya untuk ke sekian kalinya.

“Mari kita memahami tentang peta kesadaran. Kesadaran ada dua, ada kesadaran tinggi, ada kesadaran rendah. Peta kesadaran adalah kesadaran yang dipetakan dengan level-level energi tertentu. Dimana level terendah adalah 20 ke bawah, dan tertinggi adalah 1000. Yang pertama malu level 20, rasa bersalah level 30, apatis level 50, duka level 75, ketakutan level 100, hasrat level 125, marah level 150, bangga diri level 175, keberanian level 200, kenetralan level 200, kemauan level 310, menerima level 350, berpikir level 400, cinta level 500, suka cita level 540, damai level 600, dan pencerahan level 700-1.000. Perlu kamu ketahui bahwa setiap kesadaran memuat emosi tertentu yang memengaruhi perilaku. Mulai dari kesadaran malu memuat emosi merasa tak berharga sehingga dia bersikap menolak segala sesuatu, rasa bersalah memuat emosi menyalah sehingga dia bersikap menghancurkan sesuatu, apatis memuat emosi putus asa sehingga dia bersikap menyerah, duka memuat emosi menyesal sehingga dia bersikap sangat tidak bahagia, takut membuat emosi kwatir sehingga dia bersikap menarik diri, marah memuat emosi benci sehingga dia bersikap agresif, bangga memuat emosi menghina sehingga dia bersikap sombong, berani memuat emosi penegasan sehingga bersikap memberdayakan diri, netralitas memuat emosi yakin sehingga bersikap terbebas dari keterikatan, kemauan  memuat emosi optimis sehingga bersikap memiliki tujuan yang jelas, menerima memuat emosi memaafkan sehingga sikapnya tidak terpengaruh keadaan, berpikir memuat emosi memahami sehingga bersikap selalu berpikir mendalam, cinta memuat emosi rasa hormat mendalam sehingga dia mampu mengungkapkan sesuatu yang berharga yang sebelumnya tersembunyi, suka cita memuat emosi tenang dan hening sehingga dia mengalami perubahan kesadaran, damai memuat emosi kebahagiaan luar biasa sehingga dia berproses dalam mencapai pencerahan, pencerahan memuat emosi tak terlukiskan sehingga saat ini dia mencapai kesadaran murni. Seseorang semakin tinggi kesadaran, maka emosinya semakin baik, sehingga sikapnya semakin baik, dan akhirnya menghasilkan karya yang baik. Seperti halnya kopi ini, nak, kalau saya berikan kepada orang yang marah kepada saya, mungkin dia menolak untuk meminumnya, berbeda jika saya berikan kepada orang yang damai, maka dia akan menerima dengan bahagia. Bahkan, dia mungkin terinspirasi untuk berjualan kopi” Romo menjelaskan secara rinci.

Aku terdiam sejenak. Mendengar penjelasan Romo, aku merasa malu dengan diriku sendiri. Aku memiliki emosi yang belum stabil saat ini, seringkali aku merasa takut, kwatir, marah, dan emosi negatif lainnya, sehingga bisa dipastikan aku berada pada kesadaran rendah, jika meninjau dari penjelasan Romo tadi. Dengan perlahan aku bertanya dengan sedikit keraguan,

“Begini, apa perbedaan mendasar antara kesadaran rendah dengan kesadaran tinggi? Salah dan benar menurut saya adalah perspektif? Apakah antara keduanya ada yang salah dan benar?”

Romo menjawab, “Antara kesadaran rendah dan kesadaran tinggi ada perbedaan mendasar. Kita tidak boleh menyalahkan diantara keduanya, karena pada setiap kesadaran ada tugas masing-masing, yaitu menuntaskan emosi yang ada. Perbedaan mendasar ada pasa sifatnya. Kesadaran rendah sifatnya memaksakan kehendak. Misalnya memaksakan diri, harus begini dan begitu, orang lain harus begini dan begitu, pemerintah harus begini dan begitu, dan lain sebagainya. Sementara kesadaran tinggi sifatnya menggerakkan. Misalnya menggerakan diri sendiri, menggerakkan orang lain, dan bahkan menggerakan alam semesta”

“Baiklah Romo, saya paham. Kemudian, Romo bagaimana misalnya kita berada pada kesadaran tinggi, kemudian tinggal bersama orang yang kesadaran rendah. Kemudian,kita ingin dia berada pada kesadaran tinggi juga, tapi kemungkina  besar dia menolak, karena dia telanjur nyaman pada kesadarannya? Terus terang berpindah kesadaran, menurut saya adalah sesuatu hal yang susah. Bagaimana Romo menanggapi hal ini?” dengan resah aku mencoba bertanya kepada Romo untuk ke sekian kalinya.

“Dengarkanlah ini, penderitaan sebenarnya adalah saat kita ingin menolong orang lain, namun orang itu menyalahkan kita. Kalau kita melayani orang yang selalu menyalahkan kita, tentunya kita akan merasa lelah. Berhentilah, dan lakukan tugas yang sebenarnya. Kesadaran tinggi berusaha memahami, kesadaran rendah memaksakan untuk dirinya sendiri dipahami. Keduanya adalah kutub yang berbeda. Tugas seseorang yang berada pada kesadaran tinggi adalah menuntun orang-orang yang kesadarannya di bawahnya. Karena orang yang kesadaran tinggi, dia sudah mendapat hadiah berupa kesejahteraan dan kebahagiaan yang lebih baik. Mungkin uangnya lebih sedikit, namun rejekinya lebih banyak” Jawab Romo mantap.

“Terima kasih, Romo, saya paham. Kemudian bagaimana cara saya selalu berada pada kesadaran tinggi, agar saya selalu sukses” Tanyaku dengan suara sedikit rendah.

“Harus ada paradigma baru. Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan. Selama ini sukses diartikan sebuah tujuan, padahal sebenarnya sukses adalah perjalanan yang ditempuh secara terus menerus. Ibarat perjalanan, sukses adalah prosesnya, sementara mobil adalah alatnya. Mobil yang tidak dijalankan, maka proses berjalan tidak terjadi. Tujuan yang tidak dicoba diraih, maka proses sukses tidak akan terjadi. Hanya kalu tujuan sudah diraih, secepatnya buat tujuan baru, sehingga membuat diri selalu tergeraknya. Bukan melihat tujuannya tercapai, tetapi melihat prosesnya. Untuk berada pada kesadaran tinggi, kita baiknya meniru yang sudah alam tunjukkan. Bumi berputar secara konsisten pada kecepatan 1.670 km per jam, oleh karenanya kita merasa nyaman berada di atas bumi, hamper tanpa merasakan perputarannya. Waktu selalu pada kecepatan 300.000 km per detik, oleh karenanya kecepatan cahaya dijadikan acuan waktu. Makanya adalah satuan jarak waktu berupa tahun cahaya. Artinya dengan menggunakan kecepatan cahaya, akan diperoleh suatu jarak tertentu. Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa sesuatu yang dilakukan secara konsisten akan menghasilkan keajaiban. Untuk berada pada kesadaran tertentu, kita harus konsisten. Mengatur diri pada ritme yang tepat atau tidak berubah-ubah. Maka, dengarkanlah ini, disiplin diperlukan untuk menjalani suatu proses tertentu. Tanpa adanya suatu disiplin, maka sebuah proses tidak mampu berjalan sesuai dengan yang diinginkan” Jawab Romo.

“Bisa saya artikan disiplin adalah modal dasar kesuksesan. Tapi Romo, bagaiman cara menjadi sukses dengan cepat. Saya sering mendengar orang berseliweran sukses cepat, kaya cepat, dan kata-kata memotivasi lainnya. Bagaimana ini?” aku menanggapi penjelasan Romo, sembari bertanya kembali.

“Modal dasar kesuksesan adalah disiplin, bukan motivasi. Disiplin adalah hal yang membuat kita tetap bergerak meskipun malas, tetap bergerak meskipun sulit, tetap bergerak meskipun kwatir, tetap bergerak meskipun takut. Sementara, motivasi adalah hal yang menjadi pendorong kita. Kalau kita tidak disiplin, maka kita tidak bergerak, kalau kita hanya didorong untuk diam atau kata sekarang adalah rebahan saja terus-terusan. Misalnya, saat ini yang populer adalah menjadi konten creator. Maka kita harus memiliki disiplin untuk menjadi membuat konten setiap hari. Kalau kita tidak punya disiplin, hasilnya kita kan lebih suka rebahan. Akhirnya kita berhenti menjadi konten kreator” Jawab Romo.

“Baik Romo, saya paham. Kemudian, bagaimana caranya menjadi disiplin?” Tanya dengan nada datar.

Romo terdiam, kemudian mengernyitkan dahi. Kemudian, dia meminum kopi yang ada di depannya. Kemudian, dia mempersilahkanku meminum kopi yang ada di depanku,

“Mari, nak, diminum dulu kopinya”

“Inggih, Romo” aku segera meminum kopi yang ada di depanku.

“Kalau kau ingin disiplin, maka tirulah bumi yang berotasi pada konstanta 1.670 kilometer per jam, atau menjadi cahaya merambat pada konstanta 300.000 kilometer per detik. Hanya saja kamu tidak menjadi avatar yang mampu terbang mengitari bum atau menjadi malaikat yang mampu berjalan dengan kecepatan cahaya. Kita hanya perlu menemukan ritme yang tepat untuk menemukan konstanta diri kita. Setelah bertemu dengan ritme tertentu, maka pertahankan. Cirinya sudah menemukan ritme kita adalah kita merasa enak dan nyaman. Dan bila kita sudah berada jalur yang nyaman, maka dalam setiap proses yang kita lakukan, maka akan diperoleh hasil atau progress yang nyata. Dan ingat dalam melatih kedisiplinan, berhentilah membandingkan diri dengan orang lain, karena membandingkan diri dengan orang lain, dalam fase ini akan membuat kita sombong atau rendah diri, dan bisa menurunkan kualitas kedisiplinan kita. Ingat, disiplin atau proses berkelanjutan, bukan sebuah hasil.” Kata-kata Romo ini mencerahkan pandanganku.

“Baiklah, Romo, terima kasih penjelasannnya” aku berterima kasih dengan mata menatap penuh dan senyum mengembang.

Tak terasa waktu menunjukkan pukul empat sore. Kopi yang disajikan sudah hamper habis, dan tinggal ampasnya. Aku berpamitan kepada Romo. Romo melepasku dengan senang hati. Pembicaraan sore ini adalah pembicaraan yang cukup berat bagiku. Memahami kesadaran dan kedisiplinan. Namun, Romo menjelaskan dengan sangat jelas, sehingga aku yakin kelak aku bisa menerapkan dalam kehidupanku.

“Ingatlah, Nak, pengetahuan yang kau dapatkan, hanya tetap pengetahuan dalam pikiranmu, sampai kau menerapkannya dalam sebuah aksi nyata” pesan Romo kepadaku.

“Inggih, Romo, siap. Terima kasih” 

Aku segera menyalami Romo, dan segera pulang. Dalam hatiku, aku berjanji akan menerapkan apa yang dijelaskan Romo dalam sebuah tindakan nyata, yang bermanfaat bagi diriku dan sekitarku. Aku bertekad akan menjadi pribadi disiplin, dengan kesadaran untuk terus mencapai apa yang selam ini menjadi impian-impianku. Hari ini aku mendapat pemahaman baru, bahwa orang harus mempunyai kesadaran dalam proses mencapai apa yang dia impikan.

0 komentar:

Posting Komentar