Mari Membaca

Arti Kebahagiaan

(Hari sabtu ini, Edy mengunjungi rumah Romo. Kali Edy ke rumah Romo pukul tiga sore. Sore ini Romo mengenakan baju surjan lurik, dan blangkon selaras. Di rumah Romo, Edy dijamu segelas es teh manis)

Edy : “Izin bertanya Romo. Apa itu kebahagiaan?”

Romo : “Menurutmu kebahagiaan itu apa, sebelum bertanya kepadaku?”

Edy : “Bahagia itu rasa manakala kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Misalnya uang, emas, mobil, atau rumah.”

Romo : “Kalau begitu, sebelum mendapatkan itu, kamu tidak akan bahagia?”

Edy : “Menurut saya tidak, Romo.”

Romo : “(menghela nafas) Saat bayi baru lahir, dia tidak punya apa-apa. Apakah orang tuanya bahagia saat bayi itu lahir?”

Edy : “Tentu saja, Romo. Karena mereka punya anak.”

Romo : “Bayi itu tidak punya apa-apa, tapi telah membuat orang tua bahagia, berarti bayi sudah mempunyai bibit-bibit bahagia. Bukankah demikian?”

Edy : “Menurut saya tidak Romo, bayi yang baru lahir itu menangis, berarti dia tidak bahagia kan. Selanjutnya dia tersenyum kemudian tertawa, itu karena dia sudah tahu bahwa dia sudah punya orang tua.”

Romo : “Apakah bayi perlu diajari untuk berbahagia? Coba jawab ini!”

Edy : “Tidak, Romo. Tapi mereka dibuat untuk menjadi bahagia. Dengan diemong mulai dari masih jabang bayi merah, sampai menjadi balita.”

Romo : “Apakah ada kamus kata berupa bahagia yang disampaikan kepada bayi? Setahu Romo, bahagia sifatnya abstrak, subyektif bagi siapa yang mengalaminya. Bahagia itu, berada di dalam diri manusia. Manusia terdiri dari badan fisik, jiwa, hati, dan ruh. Fisik yang menghasilkan sensasi panca indra dan sensasi lainnya, jiwa yang mengelola pikiran, hati yang mengelola perasaan, dan ruh yang mengelola semangat untuk tetap hidup. Nah, kebahagiaan itu letaknya di dalam hati. Di situlah benih-benih kebahagian tertanam. Tidak hanya kebahagiaan, namun juga benih rasa hormat, keyakinan, percaya diri, dan lainnya berada. Tugas kita adalah menumbuhkannya agar selalu bertumbuh sempurna sehingga bermanfaat bagi sesama dan lingkungan sekitarnya.”

Edy : “Begini, Romo. Kalau tidak punya apa-apa, bagaimana bisa bahagia. Bukankah, kita akan mengalami kekurangan?”

Romo : “Punya ini punya itu adanya di dimensi fisik, tubuh kita kita. Sementara kebahagiaan adanya di dalam dimensi hati. Baik dimensi fisik, jiwa, dan hati harus berkembang secara optimal. Kalau yang berkembang hanya fisik saja, maka kurang baik bagi jiwa dan hatinya. Demikian juga, bila hati yang dikembangkan, maka kurang baik bagi jiwa dan fisiknya. Kita ini adalah makhluk tiga dimensi yang terikat ruang berupa depan, belakang, kiri, kanan, atas, dan bawah yang tinggal di dimensi ke empat. Dimensi ke empat adalah dimensi dimana meliputi ruang yang kita tempati ini, ditambah satu acuan tambahan yaitu waktu. Karena kita tidak menyadari adanya waktu, maka kita seringkali tidak sadar bahwa kita harus mengembangkan semua potensi kita, meliputi fisik, jiwa, dan hati. Akhirnya, perkembangannya tidak seimbang. Terjadilah pemahaman, kalau orang sudah punya segalanya dalam arti dunia fisik ini, dia sudah mencukup kebutuhan jiwa dan hati. Padahal itu keliru.”

Edy : “Apa pengaruhnya dimensi ke empat dengan kebahagiaan, Romo?”

Romo : “Kalau kita menyadari bahwa ruang dan waktu kita masing-masing berbeda, maka kita akan berhenti membandingkan. Di dimensi ke empat, waktu Nak Edy dengan Romo berbeda. Kalau di dimensi ke tiga, kita merasa semua sama, yaitu di ruang ini, bumi ini, dan langit. Di dimensi ke empat, kita berada dalam waktu yang sifatnya hanya diperuntukkan untuk diri sendiri. Ruang dan waktu ibarat SSD atau hardisk yang menjadi satu kesatuan, tidak dapat dipisahkan. Karena waktu sifatnya relative, maka kita akan berhenti membandingkan satu dengan yang lain, akhirnya kita bebas mengoptimalkan potensi diri kita, salah satunya benih kebahagiaan.”

Edy : “Bisa dijelaskan, Romo. Kenapa waktu diperuntukkan untuk diri sendiri. Bukankah waktu kita semua sama?, dua puluh empat jam sehari?”

Romo : “Waktu sifatnya relative. Orang naik motor dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam lebih lambat waktunya, daripada orang yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan lima puluh kilometer per jam. Orang yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan lima puluh kilometer per jam lebih lambat waktunya daripada orang yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan enam kilometer per jam. Begitu seterusnya, sampai kita mencapai kecepatan cahaya. Setelah mencapai kecepatan cahaya, tidak akan lagi perbedaan waktu, waktu tidak akan berarti lagi.”

Edy : “Kenapa setelah mencapai kecepatan cahaya, perbedaan waktu tidak ada lagi, Romo?

Romo : “Cahaya merambat tanpa perantara. Dulu diperkirakan bahwa cahaya merambat melalui eter, namun tidak terbukti. Cahaya merambat konstan dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik. Ibaratkan ada dua orang naik kereta api, satunya di bagian paling depan, satunya berada di bagian paling belakang. Kemudian, ada dua petir menyambar di bagian depan dan belakangnya. Dengan ukuran kecepatan cahaya yang sama yaitu 300.000 kilometer per jam, orang yang berada di depan melihat petir yang ada di depan terlebih dahulu daripada orang yang di belakang. Demikian, orang yang di belakang akan melihat cahaya di belakang dahulu, daripada orang yang ada di depan. Dengan demikian, waktu kedua orang tersebut menjadi relative. Kalau pada saat ini, kita tidak merasakan perbedaan waktu di antara kita, itu karena kecepatan kita dibandingkan cahaya terpaut sangat jauh. Pesawat terbang tercepat memiliki kecepatan sekitar 7.000 kilometer per jam. Jika dibandingkan dengan kecepatan cahaya yang berada pada kecepatan 300.000.000 kilometer per jam, kecepatan pesawat terbang tercepat hanya 0,0023% nya.”

Edy : “Apa hubungannya kecepatan cahaya dengan waktu, Romo?”

Romo : “Semua benda bergerak di dunia ini dapat diukur dengan acuan tertentu. Acuan tersebut harus konstan tidak berubah-ubah. Nyatanya, semua benda di dunia ini tidak ada yang konstan. Gelombang merambat tidak ada yang tetap, melainkan tergantung dari media perambatannya. Sehingga, gelombang yang merambat dengan kecepatan tidak tetap, tidak dapat dijadikan acuan. Cahaya merambat dengan kecepatan konstan yaitu 300.000 kilometer per detik. Dengan perumpamaan dua orang yang naik kereta api, dimana kereta api disambar petir di bagian belakang tadi, maka cahaya yang kecepatan konstan tersebut dapat dijadikan acuan waktu.”

Edy : “Jadi, untuk menjadi bahagia kita harus mencapai kecepatan cahaya, ya, Romo?

Romo : “(mengernyitkan dahi) kalau kita mencapai kecepatan waktu, kita bukan makhluk fisik lagi. Cara menjadi bahagia adalah menyadari bahwa kita kebahagiaan adalah berada dalam diri sendiri, karena kita berada dalam dimensi ke empat. Yang mana waktu sifatnya relative. Jadi, untuk menjadi bahagia, kita terhindar dari sifat membandingkan satu dengan yang lain.

Edy : “ Jadi, kita memiliki waktu kita sendiri-sendiri?”

Romo : “Benar sekali”

Edy merenungkan penjelasan Romo. Dalam pikirannya berkecamuk, bagaimana orang bisa bahagia kalau tidak punya apa-apa. Namun, di sisi lain, dia juga paham, bahwa karena dia tinggal di dimensi ke empat, dimana ruang dan waktu menjadi satu kesatuan, maka secara teori dia dapat menjadi bahagia menurut versinya. Demikian juga dengan orang lain. 

Edy : “Romo, bagaimana cara mendapatkan apa saja, agar kita bahagia? (Edy bertanya dengan tampang wajah putus asa?

Romo : “Kita adalah makhluk tiga dimensi, terikat materi ruang, yang tinggal di dimensi ke empat yang terikat waktu. Maka, dari itu ada nilai tukar yang harus diberikan. Maka, semisal kamu ingin membeli mobil, kamu harus menabung sejumlah uang dahulu sampai nominal mencukupi untuk membeli mobil. Atau kalau kamu tidak bisa menabung, kamu bisa melakukan hal-hal yang membuatmu bisa memiliki mobil, semisal menjadi perantara jual beli mobil, dimana hasil dari jasa perantaramu, bisa kau tukar dengaan mobil.”

(Edy tertegun mendengar penjelasan Romo. Namun, dalam hatinya sudah ada gambaran, bagaimana cara untuk berbahagia. Jadi, untuk bahagia, dia harus melihat ke dalam dirinya, bukan ke luar dirinya, karena di dalam dirinya sudah ada benih-benih kebahagiaan yang tinggal dia rawat dan kembangkan)



0 komentar:

Posting Komentar